Selasa, 26 Januari 2010

Hubungan Budaya politik dengan Pendidikan

Apa hubungan budaya politik dengan pendidikan?

Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa
yang akan ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama
budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh
pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan
bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final
membentuk pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap
calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kukuh, besar
kemungkinan akan lahir pelaku-pelaku / ahli-ahli / pemain-pemain politik yang
baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan hancur
dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian
hari adalah pelaku-pelaku politik yang hancur dan rapuh pula.
Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para
pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik
berbeza dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat
dengan sistem pendidikan yang kurang memadai. Dalam masyarakat Indonesia,
misalnya, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan
pesantren yang baik, berbeza perilakunya dari pelaku politik yang
datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari
latar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi
feodal atau militer.

Dulu, di Malaysia, para pelaku politik dengan latar belakang
pendidikan British berbeda sepak terjang politiknya dari pelaku
politik dengan latar belakang pendidikan Melayu. Di England misalnya para
politikus dengan latar belakang pendidikan elitis berbeda perilakunya
dan budaya politiknya mereka yang datang dari kalangan pendidikan
yang kurang beruntung.

Bentuk pendidikan
Lalu bagaimana bentuk pendidikan (kontur pendidikan) yang dapat
menjadi landasan ideal kehidupan politik? Ini bergantung bagaimana
kita men-definisi-kan “kehidupan politik” yang ideal. Namun, secara
umum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon politik
disebut “pendidikan manusia seutuhnya”.
Dalam idiom moden, ini ialah pendidikan yang membimbing anak
menjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), iaitu simbolika,
empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini,
jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak muda
yang mampu berfikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka
persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan,
memiliki kepekaan sosial, secara sukarela taat kepada norma-norma,
dan mampu berfikir secara reflektif dan integratif. Menurut para
ahli, pendidikan seperti ini memerlukan waktu enam belas tahun.
Ini berarti kalau diaplikasikan secara terus menerus dalam sistem kita itu bererti pendidikan dari Darjah Satu hinggalah ke peringkat Ijazah Sarjana (Master) atau minimum Sarjana Muda misalnya.
Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya diharapkan akan lahir insan-
insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan
perilaku politik yang lebih santun dalam negara kita.
Untuk ini mungkin di masa depan kewajiban belajar bagi anak-cucu
perlu ditingkatkan dari 9 tahun jadi 15 tahun. Mungkin di masa depan
perlu diadakan ketentuan asas untuk menjadi ahli parlimen misalnya dan Adun
diperlukan paling tidak ijazah Sarjana (Master) dalam bidang hubungan manusia atau sosiologi atau bidang agama dan pembangunan. Jadi perjalanan yang
harus ditempuh sistem pendidikan kita masih panjang sebelum lahir
generasi politik yang lebih cekap, lebih santun, tidak rasuah, tidak mencarut, tidak menjerit-jerit dalam parlimen dan sebagainya serta lebih bermasyarakat dan mempunyai ketokohan kepemimpinan (talent), dan mereka menjadi ahli politik bukan kerana banyak wang tapi ilmunya yang tinggi. Dapatkah ini kita capai? Semoga Wallahualambissawab...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar